Masih dalam perhelatan Penguatan Komunitas Sastra 2025 yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan, pada Bincang Buku Sastra yang kedua, Rumah Kreatif Suku Seni Riau membahas buku kumpulan naskah drama “Dilanggar Todak” karya sastrawan asal Riau, Marhalim Zaini, bersama dua pembahas yang merupakan akademisi sastra, Pinto Anugrah dan Deni Afriadi di Studio Suku Seni Riau (13/9).
Dipandu oleh moderator, Laposa Mirdja, membuka dan memulai kepada pembahas untuk memaparkan makalah yang sudah mereka tuliskan. Pinto, sebagai pembahas pertama memulainya dengan mengenang kisah perkenalannya setelah dua dekade dengan sastrawan yang bukunya hari ini ia bahas. Menilik dari beberapa karya, Pinto membuka masuk dengan salah satu judul naskah “Mata Sunyi” yang lebih mencuri perhatiannya.
Berbeda dengan Pinto yang membahas dengan objektif, Deni Afriadi, pembahas kedua masuk dalam bahasan dengan sudut pandang subjektifnya. Deni menjelaskan dan memfokuskan pada tiga aspek yang juga sudah ia tuliskan dalam makalahnya. Tiga aspek itu diantara lain, estetika dramatikal yang dihadirkan oleh Marhalim dalam tulisannya, rekontekstual legenda yang disampaikan lewat mitologi melayu, dan feminisme yang mengungkit tentang perempuan yang tak lari dari pertikaian-pertikaian kehidupannya pada naskah-naskah Marhalim.
Berkembang melalui tanya jawab pada perbincangan, moderator membawa pertanyaan secara tantangan dalam makna yang luas untuk naskah-naskah drama. Menjawa hal itu, Pinto mengungkapkan bahwa naskah drama adalah genre sastra yang tidak populer. Baginya, penulis naskah drama tidak berdiri sendiri yang harus disandingkan dengan sutradara ataupun kelompok teater. “Saya sendiri belum memiliki jalan keluar, walaupun demikian saya sampaikan Dramatik reading bisa jadi ide, meski itu bukan pementasan,” jelas Pinto.
Pertanyaan lain pun ikut dilontarkan tentang sinyal yang disampaikan oleh karya Marhalim Zaini ini. Deni menjawab demikian bahwa Karya Marhalim, “Dilanggar Todak” mencoba mengatakan idiom kemelayuan yang juga laku untuk dijual. Deni juga mengungkapkan bahwa, “Konflik sosial orang melayu pun laku untuk dijual, hanya saja bagaimana kita meramunya”.
Murparsaulian, salah satu peserta bincang buku yang hadir mengungkapkan bahwa menurutnya tidak perlu merisaukan dengan karya yang berakar pada tradisi. Menurutnya, karya-karya yang berangkat pada tradisi itu akan menemukan penggemarnya sendiri. Pada hal lain, Murparsaulian mengungkapkan ketertarikannya tentang dramatik reading yang diungkapkan Pinto. Menjawab hal demikian, Pinto menjelaskan bahwa jika selama ini membaca adalah kebutuhan pribadi, namun dramatik reading adalah kebutuhan bersama yang dibaca secara bersama.
Diskusi masih berlanjut hingga lima peserta memberikan pertanyaan dan tanggapannya tentang bahasan perbincangan dari buku naskah drama Dilanggar Todak. Menutup bahasannya, Pinto mengungkapkan bahwa, “Saya yakin, penulis-penulis ataupun karya naskah drama ini tidak akan hilang, dan akan tetap bermunculan meskipun sebuah genre yang tidak populer”.
Deni, sebagai penutup bahasan, ia memulai dengan kisah yang terjadi 15 tahun lalu, “Dulu ada laboratorium teater, untuk kritis, belajar dalam untuk mendalami sesuatu. Dan terus diajakan untuk didoktrin akan kritis. Ilmu-ilmu dari kepanggungan saya di teater yang membuat saya tumbuh terus hingga hari ini”. (H2M)
© 2025 Rumah Kreatif Suku Seni Riau